Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
Minggu, 29 November 2009 18:31
Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga
negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju
tanah yang halal, yaitu al hillu, Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah.
Tujuannya untukmelaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari.
Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata
lain, untuk memperbanyak pahala. Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al
'Utsaimin penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan
sa'i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh 'Utsaimin pun bertanya
kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong
untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]
SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allah, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga
harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata,
tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Disamping itu juga
dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji
yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.
Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus
bersesuaian dengan rambu-rambu syari'at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi dan para sahabat,
serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah
satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad
padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah umrah dengan ketentuan
yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang
dilakukan menunjukkan sikap i’tida` (melampaui batas) terhadap hak Allah, dalam aspek
penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allah dalam
hukumNya.
Allah berfirman : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada
ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih" [Asy Syura /42: 21][2]
JUMLAH UMRAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak 4
kali.
ِعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْه
ْوَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ مِن
َقَابِلٍ وَالثَّالِثَةَ مِنْ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِي مَع
ِحَجَّتِه
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah mengerjakan umrah sebanyak empat kali. (Yaitu)
umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji'ranah, dan keempat (umrah) yang
1/9
SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH
Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
Minggu, 29 November 2009 18:31 bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau".[3]
Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat [4]. Setiap umrah
tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri,
tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah
syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini,
kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah
pernjanjian Hudhaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa
bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan.
Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan
umrah Qadhiyyah atau Qadha`[5] tahun 7 H. Selama tiga hari beliau n berada di Mekkah. Dan
ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul
Qa`dah.[6]
SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh.
Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Keterangan
beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’. [7]
Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang
dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas- tidak disyariatkan.
Pertama : Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah, masing-masing dikerjakan
dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti
yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin
menyimpulkan, setiap umrah mempunyai waktu safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya
untuk satu umrah saja [8]. Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar.
Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah.
Kedua : Para sahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haji
Wada’, tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari mereka yang beranjak keluar
menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Juga
tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah. Begitu pula, orang-orang
yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini
sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan
syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[9]
Ketiga : Umrah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa
dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan
halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau berada di sana. Kemudian
sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya
beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu,
2/9
SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH
Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
Minggu, 29 November 2009 18:31
beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah. Beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah
secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi,
semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]
Keempat : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah
mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula,
tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk
mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam. Karena
thawaf di Ka’bah tetap masyru’ sejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Bahkan sejak
Nabi Ibrahim Alaihissalam. Mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu, sudah
mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi
penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi
mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah. Sebab, tidak mungkin
Rasulullah dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul/ (yang nilainya kurang)
-dalam hal ini thawaf- dibandingkan amalan yang lebih afdhal (umrah menurut asumsi sebagian
jamaah haji). Padahal Nabi n tidak memerintahkan umat untuk melakukan umrah
berulang-ulang. Ucapan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim.[11]
Ibnul Qayyim berkata,"Tidak ada umrah beliau dalam keadaan beliau keluar dari Mekkah
sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau,
dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota
Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang
menjelaskan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah.
Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki
kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya
(Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan
umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali 'Aisyah semata...[12]
Kelima : Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan
perintah Nabi. Beliau mengizinkannya setelah 'Aisyah memohon dengan sangat.[13]
Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
'Aisyah mendapatkan haidh, maka Rasulullah memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama
‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram
untuk umrah disana. Karena 'Aisyah menyangka, bahwa umrah yang dilakukan bersamaan
dengan haji, akan batal, sehingga ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengijinkan 'Aisyah melakukan umrah lagi.
Umrah yang dilakukan ‘Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu
pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia
pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan
Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan 'Aisyah Radhiyallahu 'anha. Andaikata para
sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca
menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.
3/9
SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH
Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
Minggu, 29 November 2009 18:31
Ibnul Qayyim mengatakan, (Umrah ‘Aisyah) menjadi dasar tentang umrah dari Mekkah. Tidak
ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) selainnya. Sesungguhnya Nabi
dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah,
kecuali ‘Aisyah saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan
riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada
yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]
Imam asy Syaukani rahimahullah berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi
dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang.
Padahal, tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang sahabat melakukan yang
demikian itu”.[15]
Keenam : Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah
tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak
mewajibkannya atas penduduk Mekkah. Imam Ahmad pernah menukil perkataan Ibnu 'Abbas:
“Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf
di Ka’bah”.
‘Atha bin Abi Rabah [16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk
Mekkah– berkata : “Tidak ada manusia ciptaan Allah kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah.
Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah.
Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan
thawaf. Dan itu sudah mencukupi”.
Thawus [17] berkata: “Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”.
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah).
Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi
penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya
wajib, maka sudah pasti Nabi n memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan
mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari
Mekkah di masa Nabi masih hidup, kecuali ‘Aisyah saja. Kisah ini sudah dijelaskan
persoalannya di atas.
Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya
menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah
sampai kepada kita.[18]
Ketujuh : Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat
menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa'i tidak dikerjakan
kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa
harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu
mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang
mengantarkan kepada tujuan). [19]
4/9
SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH
Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
Minggu, 29 November 2009 18:31
Kedelapan : Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan
menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah
yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk
berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan,
tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari
Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru
menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia
meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut.
Kesembilan : Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih
utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah
Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah
sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dan sudah dimaklumi,
bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang
baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah.
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum
pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al Kitab dan as Sunnah. Juga
tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti
termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama[20]. Oleh karenanya, para
generasi Salaf dan para imam melarangnya.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus, salah seorang murid Ibnu
‘Abbas mengatakan :
َمَا أَدْرِيْ أَيُؤْجَرُوْنَ عَلَيْهَا أَمْ يُعَذَّبُوْنَ. قِيْلَ : فَلِم
يُعَذَّبُوْنَ؟ قَالَ : لِأَنَّهُ يَدَعُ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ . وَيَخْرُجُ إِلَى
ٍأَرْبَعَةِ أَمْيَالِ وَيَجِيْئُ وَإِلَى أَنْ يَجِيْئَ مِنْ أَرَبَعَةِ أَمْيَال
ْقَدْ طَافَ مِائَتَيْ طَوَافٍ. وَكُلَّمَا طَافَ بِالْبَيْتِ كَانَ أَفْضَلَ مِن
ٍأَنْ يَمْشِيَ فِيْ غَيْرِ شَيْئ
"Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka
diberi pahala atau justru disiksa". Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau
menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil
dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang menempuh jarak empat mil, ia bisa berkeliling
Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada
menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21]
‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk
umrah”. [22]
Kesepuluh : Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya
melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam semakin memantapkan pendapatnya,
bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam.
Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan
ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada
5/9
SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH
Oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa
Minggu, 29 November 2009 18:31
Dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk
memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum.[23]
Di antara dalil yang umum, hadits Nabi:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا
"Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus )dosa( di antara keduanya" [24].
Tentang hadits ini, Syaikh al 'Utsaimin mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan
dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim [25]. Penjelasannya
sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan
generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.
Kesebelas : Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di
Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah
halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi tidak tahu bahwa itu masyru’
(disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]
LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah
dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Dan yang disunnahkan adalah thawaf,
bukan umrah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan : “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama
daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan
lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khalifah pengganti
beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.
Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah
(cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah Allah tetapkan di
dalam KitabNya, berdasarkan keterangan NabiNya. Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi
penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli
maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh
orang-orang yang berada di kota lainnnya.
Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasulullah dan masa para khulafa senantiasa
menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah yang baik dan bermanfaat bagi semua orang, jika kamu mau menempatkan link url pastikan berikan informasi yang bermanfaat pula