KOMPAS.com — "Aku duwe tas anyar...", "Bu... aku dicritani yo", "Pak... nggambar yook... ayo to pakkkkk ceeepppeetttt... ". Itulah suara yang terdengar dari mulut-mulut kecil di barak-barak pengungsian saat anak-anak mendapat hadiah berupa tas dan buku-buku.
Binar mata mereka, mengingatkanku akan binarnya Jogja... dan hanya kitalah yang bisa mengembalikan binar mereka.
Bersamaan dengan itu, wajah takut dan sedih anak-anak pengungsi berganti dengan harapan dan kegembiraan. Setitik cahaya muncul dari mata yang tadinya sendu. Naluri anak-anak untuk bermain pun timbul, melupakan bencana yang masih menghantui mereka.
Adapun ide memberi tas, buku, dan alat tulis kepada anak-anak pengungsi itu muncul dari dokter gigi Rinastiti atau akrab dipanggil Tita, bersama kakaknya Ika Rahutami. Pemberian bantuan yang kemudian menjadi gerakan Tas Untuk Merapi itu berawal dari kejadian sederhana.
"Waktu itu dalam suatu kunjungan, anak saya yang bernama Abhi menitipkan majalah Bobo bekas untuk dibagikan kepada anak-anak pengungsi. Semula kami tidak menganggap majalah itu sesuatu yang penting karena umumnya yang dibagikan kan bahan-bahan kebutuhan pokok, selimut, dan lain-lain," kata Tita, Rabu (10/11/2010).
"Namun, melihat mata anak-anak berbinar saat menerimanya, kami seperti mendapat bisikan bahwa itulah yang diperlukan anak-anak. Bagaimanapun, dalam kondisi apa pun, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka memiliki kebutuhan personal. Mereka ingin punya sesuatu untuk dimiliki setelah kehilangan segalanya akibat letusan Merapi," lanjut Tita.
Sebelumnya, Tita dan beberapa anggota keluarganya sempat berkeliling ke lokasi-lokasi pengungsian dan menanyakan hal-hal yang dibutuhkan. Mereka mendapati bahwa pada umumnya lokasi-lokasi itu sudah menerima selimut dan bahan-bahan kebutuhan lain. "Ada yang menyatakan mereka perlu genset. Kami bingung, bagaimana bisa menyediakan genset dengan dana terbatas?"
Namun, kenangan akan keceriaan anak-anak saat menerima majalah bekas menggerakkan Ika dan Tita, atas inspirasi dari Detty, seorang guru di Kolese de Britto, untuk membeli tas beserta buku, alat-alat tulis, crayon, dan majalah anak-anak. Terkumpullah 40 paket untuk dibagikan. Lalu Ika pun menggulirkan ide ini lewat jejaring sosial Facebook dan menjadi gerakan yang makin lama makin besar.
"Sabtu (6/11/2010) malam, kami mem-posting di wall ide tersebut dan kami tuliskan dalam bentuk notes. Kami juga mencoba mengirim SMS yang sama ke seluruh sahabat yang ada di phonebook kami," ujar Tita. Kini sekitar 800 paket sudah dibagikan di 12 lokasi pengungsian di Yogyakarta dan Muntilan.
Tita mengatakan, melalui gerakan Tas Untuk Merapi, mereka berusaha menyentuh anak-anak secara personal. "Kami menyarankan teman-teman untuk mengatasnamakan sumbangan dari anak-anak mereka dengan menulis surat kecil di dalamnya. Anak-anak akan merasa lebih senang mendapat sesuatu dari teman-teman baru mereka," ujarnya.
Awalnya, tas-tas ini hanya untuk pengungsi-pengungsi SD dan TK. "Maklum, gambarnya Ben Ten, Doraemon, Sponge bob, Miki, dan lainnya," kata Tita. Tapi ketika dibagi, anak-anak SMP ikut berdiri. "Aku juga mau... aku juga pengin...." begitu kata mereka.
Anak-anak yang masih sangat kecil pun memandangi penuh harap. Pandangan itu melelehkan hati para sukarelawan sehingga tas-tas pun berpindah ke tangan-tangan mungil tersebut. Begitu mereka mendapatkan hadiah itu, mereka langsung membukanya, menimangnya, dan memeluknya. "Aku bisa sekolah lagi... aku punya tas lagi..." kata pengungsi-pengungsi kecil itu.
Dalam halaman Facebook, Tita menulis, "Kami bersyukur respons yang diberikan para sahabat mengalir sangat deras di luar perkiraan kami. Dan karena ini bukan bantuan dengan simbol-simbol tertentu, bukan bantuan dari lembaga tertentu, maka setiap kunjungan ceritanya selalu kami posting, baik di FB maupun kami kirim e-mail. Harapannya, para sahabat berkenan membacakan kepada putra-putrinya. Dengan begitu, mereka merasa memiliki sahabat baru dan merasa perlu berbagi dengan yang sedang menderita."
"Karena kasih merekalah, adik-adik kecil Merapi tersenyum di barak Susteran St Anna, Tambak Bayan 1 dan 2, Yonif Kentungan," lanjutnya.
Hari ini, meski Merapi masih bergemuruh, meski listrik masih padam, meski hujan abu masih turun, ada juga "gemuruh" kegembiraan di hati anak-anak pengungsi. Ada cahaya di mata mereka, ada harapan yang muncul, seperti dituliskan Ika dan Tita dalam Facebook mereka:
"Binar mata mereka, mengingatkanku akan binarnya Jogja.. dan hanya kitalah yang bisa mengembalikan binar mereka... Sekecil apa pun kasih itu... tetap akan menjadi nyala yang menghangatkan hati anak-anak lembut ini..."
Powered by www.akubisanaikkelas.com
jasa foto | jasa foto | jasa foto | jasa foto | jasa foto | jasa foto | jasa foto | jas foto |
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah yang baik dan bermanfaat bagi semua orang, jika kamu mau menempatkan link url pastikan berikan informasi yang bermanfaat pula