July 22, 2010

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih
                Al Utsaimin
        ﴾ ‫﴿ فتاوى نور على الدرب‬
        ] Indonesia – Indonesian – [ ‫إندونيسي‬
  Penyusun : Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
           Terjemah       Muh. Lutfi Firdaus
                        :
          Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
                    1430 - 2009
                ﴾ ‫﴿ فتاوى نور على الدرب‬
                           « ‫» باللغة الندونيسية‬
              ‫تأليف : الشيخ محمد بن صالح العثيمين‬
                     ‫ترجمة: محمد لطفي فردوس‬
                     ‫مراجعة: إيكو هاريانتو أبو زياد‬
                                2009 – 1430
      Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal:
Ini adalah soal-soal yang datang dari para pendengar, dimulai dari pengirim
Ibrahim bin Maqbul, ia bertanya: Jika datang kepada Anda seorang kafir, lalu
ia mengucapkan salam, apakah boleh Anda menjawabnya dengan: “wa
alaika as-salam’’. Bagaimana cara menjawab yang benar?, dan apakah
boleh Anda memulai mengucapkan salam?

Jawab:
Alhamdulillah... Tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada orang
kafir dengan: ‘’Assalaamualaikum’’, akan tetapi jika ia mengucapkannya,
Anda cukup menjawabnya dengan ucapan: ’wa alaikum’, karena Nabi SAW
memerintahkan hal itu terkait dengan ahli kitab, dan yang selain mereka
sama seperti mereka, jika tidak lebih rendah dari mereka.

Soal:
Surat ini datang dari warga yang bernama Abdullah bin Muhamad Al-Huqaibi
dari Al-Quwai'iyah, ia bertanya: Sesungguhnya ia pergi haji tahun 1998 dari
Al-Quwai'iyah bersama seorang sopir, namun sopir tidak mengerti tentang
tata cara haji. Sayangnya kami turun pada tiga hari-hari Mina di Al-Haudh
Makkah, kami menginap di sana pada malam-malam Mina, kami
menyembelih hadyu (hewan sembelihan), apakah ada sangsi atas kami?
Perlu diketahui bahwa kondisi saat itu tidak memungkinkan bagi kami untuk
sampai ke Mina. Mohon masalah ini disampaikan kepada ahli ilmu, apa ada
kewajiban kafarat atas kami, atau gugurkah haji kami?

Jawab:
Adapun menyembelih hadyu pada waktu haji, hal itu boleh saja dilakukan
baik di Mina maupun di Makkah, dan boleh menyembelih di seluruh wilayah
haram. Adapun tinggalnya mereka pada tiga hari-hari Mina di tempat
tersebut, jika kondisinya seperti yang ia katakan, maka tidak mengapa dan
tidak ada denda apapun, namun jika hal itu terjadi karena kelalaian dan
ketelodoran, tidak berusaha untuk memenuhi yang semestinya dalam
masalah ini, maka ia telah melakukan kesalahan yang besar. Seorang
muslim wajib untuk menjaga kesempurnaan agamanya, dan mencari jalan
untuk bisa sampai ke Mina hingga ia benar-benar merasa tidak mampu lagi,
karena Allah SWT tidak membebani hambanya sesuatu di luar
kemampuanya, para ulama berdalil dengan ayat (yang terkait dengan ini)
menyatakan bahwa tidak ada kewajiban dalam kondisi ketidak mampuan,
maka dalam hal ini tidak ada kafarat atas mereka, hanya saja mereka harus
berhati-hati di masa-masa yang akan datang.

Soal:
Dari Hani Ambar dari Al-Aflaj, ia bertanya: Saya menunaikan haji bersama
rombongan dengan mobil pribadi melalui jalan Madinah Munawwarah, dan
ketika ihram seseorang berkata kepada kami: mulailah berniat seperti
berikut: Allahumma labbaik umratan.        Ini terjadi pada tanggali enam
Dzulhijjah, ketika kami sampai di Makkah, kami thawaf dan sa'i antara bukit
Safa dan Marwah dan bercukur kemudian tahalul, lalu kami tetap dalam
kondisi tidak berihram hingga pagi hari kedelapan, kami ihram dari Mina,
kemudian thawaf dan sa'i serta bermalam di Mina, kemudian kami wuquf di
Arafah dan menginap di Muzdalifah, dan pada pagi hari ied kami pergi ke
Baitul haram dan thawaf ifadhah kemudian pulang dan melempar jumroh
Aqabah lalu tahalul dan tidak menyembelih, dan pada hari kedua dan ketiga,
kami melempar tiga jumroh dan tidak menyembelih, lalu kami thawaf wada'
kemudian meninggalkan Makkah menuju Riyadh. Kami adalah penduduk
Riyadh. Pertanyaanya dalah: Apakah haji kami sah meski tanpa meyembelih
hadyu, karena kami setelah thawaf wada' terus langsung menuju Riyadh?

Jawab:
Umrah mereka sudah benar dan tidak diragukan lagi, karena sudah sesuai
dengan syariat. Adapun tentang        haji, mereka ihram dari Mina tidak
masalah, namun kami tidak mengerti thawaf dan sa'i yang mereka lakukan.
Apa yang mereka maksudkan dengan thawaf dan sa'i tersebut? Jika yang
mereka inginkan adalah thawaf dan sa'i haji, maka itu tidak sah karena
dilakukan bukan pada waktunya, karena waktunya adalah setelah wuquf di
Arafah dan mabit di Muzdalifah. Dengan demikian, maka keduanya sia-sia,
kemudian dalam masalah ini mereka menyebutkan bahwa mereka thawaf
ifadhah dan tidak sa'i untuk haji, berarti mereka masih harus sa'i lagi,
karena ia adalah rukun haji berdasarkan pendapat yang kuat dari para
ulama, dan mereka juga masih harus menyembelih hadyu, karena haji
tamattu'. Wajibnya adalah menyembelihnya di di hari-hari ied (hari raya)
atau tasyriq (11-13 Dzulhijjah), di Makkah atau di haram. Dengan demikian,
berarti mereka mesih harus menyempurnakan haji dengan kembali ke
Makkah dan sa'i antara bukit Shafa dan Marwah juga menyembelih hadyu
yang menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu. Adapun yang tidak
mampu maka hendaknya berpuasa sepuluh hari, kemudian setelah sa'i
thawaf wada' dan kembali ke negeri masing-masing.

Soal:
Seorang penanya menanyakan: Apakah thawaf ifadhah dapat mengganti
thawaf wada', seorang penanya yang bernama Rizk Aidhah seorang
Hadhrami pada hari terakhir haji bertanya; kami thawaf haji dan sa'i, lalu
pergi ke Jeddah dan Madinah di hari yang sama ketika kami keluar dari
Masjidl Haram dan tidak lagi thawaf wada'. Teman-teman yang bersama
kami mengatakan thawaf ifadhah sudah mencukupi thawaf wada'?

Jawab:
Ya, thawaf ifadhah jika diakhirkan pelaksanaanya hingga saat akan keluar
dari Makkah kemudian thawaf dan sa'a, kemudian keluar saat itu juga, maka
hal itu telah mencukupi thawaf wada', karena thawaf wada' itu maksudnya
adalah saat terakhir seseorang di Baitul haram. Hal itu bisa terpenuhi
dengan thawaf       wada' tersendiri atau dengan thawaf ifadhah yang
merupakan rukun haji. Yang sama dengan perkara ini adalah masalah shalat
tahiyatul masjid, yang mana Rasulullah SAW memerintahkan orang yang
masuk Makkah agar shalat dua rakaat, dan melarangnya duduk hingga telah
shalat dua rakaat, namun meski demikian, jika ia masuk sedang imam telah
masuk shalat, lalu ia ikut shalat bersama imam dengan niat shalat fardhu,
maka kewajiban tahiyat masjidnya gugur, seperti itu pula jika thawaf
ifadhah saat akan keluar dari Makkah, maka thawaf wada' menjadi gugur,
karena maksud dari thawaf wada’ telah terpenuhi dengan thawaf ifadhah
yang dilakukan sebagai saat terakhir di Baitul haram.

Soal:
 Seseorang haji dalam keadaan memiliki hutang, apakah hajinya diterima?,
dan apakah orang yang haji atas nama istrinya yang meninggal diterima
untuk istrinya?

Jawab:
Ya, orang yang haji sedang ia memiliki hutang, maka hajinya diterima,
karena bersihnya seseorang dari tanggungan hutang bukanlah syarat
sahnya haji, namun kami mengatakan: barang siapa memilki hutang yang
telah jatuh tempo, maka hendaklah ia menunaikanya sebelum berangkat
haji, karena wajib hukumnya membayar hutang terlebih dahulu daripada
kewajiban haji. Jika hutangnya masih belum jatuh tempo sedang ia memilki
kemampuan untuk menutupinya, lalu meminta izin dari yang berpiutang,
maka ia boleh berangkat haji dan tidak ada dosa baginya, karena ia mampu
untuk membayarnya di masa depan. Adapun haji atas nama istrinya
diterima jika diniatkan untuknya dan mengatakan ketika niat ihram:
Labbaika An-zaujaty Fulanah, kalaupun tidak menyebut namanya tidak
mengapa, niatnya telah mencukupinya.

Soal:
Surat ini datang dari Al-Quwai'iyah dari seorang yang bernama Abdullah bin
Bathi' Al-hishan, ia berkata dalam suratnya: Beberapa tahun yang lalu saya
menunaikan kewajiban haji. Alhamdulilah... saya telah melaksanakan
seluruh wajib haji dan rukunnya, kecuali pada hari kedua dari hari ied saya
tidak dapat melempar jumroh disebabkan padat, pada hari itu saya pergi ke
Masjid Haram untuk menunaikan thawaf haji, namun saya tidak bisa kembali
ke Mina pada hari itu melainkan di waktu malam yang akhir disebabkan
sangat padat, karena itu saya tidak bisa melempar jumrah hari itu dan baru
dapat melaksanakanya pada hari ketiga, bagaimana hukumnya?

Jawab:
Hukumnya tidak mengapa, apa yang Anda lakukan itu tidak mengapa jika
memang tidak bisa melempar pada hari pertama dan melempar pada hari
kedua, maka Anda tidak berdosa. Kalau saja ketika Anda sampai di Mina
pada malam hari itu Anda melempar, maka hal itu lebih utama dari pada
mengakhirkannya hingga hari berikutnya, karena malam itu mengikuti
siangnya dalam masalah melempar, lebih-lebih jika memang ada udzur,
seperti kepadatan, kesusahan dan keterlambatan diMakah dll, kalau
sekiranya ketika anda datang dari Makkah langsung pergi ke tempat jumrah
dan melempar pada malamnya, maka itu lebih baik daripada
mengakhirkannya ke hari yang berikutnya, tapi bagaimana pun juga apa
yang telah Anda lakukan adalah cukup, Insya Allah.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Berkomentarlah yang baik dan bermanfaat bagi semua orang, jika kamu mau menempatkan link url pastikan berikan informasi yang bermanfaat pula